Thursday, March 11, 2010

KONSEP UANG SERTA PERMINTAAN DAN PENAWARAN MENURUT PANDANGAN AL-GHAZALI

KONSEP UANG SERTA PERMINTAAN DAN PENAWARAN MENURUT PANDANGAN AL-GHAZALI

Oleh: Adib Susilo/mu’amalat VI

Dalam kehidupan ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, khususnya kehidupan dunia. Seluruh aspek yang ada dalam kehidupan hampir tidak lepas dengan yang namanya uang. Segala sesuatu hamper seluruhnya dinilai dengan materi di dalam kehidupan manusia.

Seperti makan, minum, pendidikan, hiburan, dan lain sebagainya hampir seluruhnya harus menggunakan uang. Makan tanpa uang amat sangat sulit semua bahan makanan pokok harus dibeli dengan uang, begitu pula dengan minuman, jika ingin minuman enak dan beda dari biasanya, harus dibeli dengan uang. Bahkan air putih pun dibeli dengan uang.

Pendidikan dinegeri ini –Indonesia- pun harus dengan uang yang tidak sedikit, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi tidak ada yang gratis. Memang ilmu tidak murah, tapi bayaran bukan untuk pendidik, melainkan jalan untuk mendapatkan pendidikan itulah yang seharusnya dipenuhi. Namun pada kenyataannya biaya pendidikan tersebut kian tahun kian meningkat, tapi hasilnya kurang sesuai dari apa yang telah di keluarkan.

Begitu pula dengan hiburan, tidak lepas dari yang namanya uang. Entah itu yang ringan atau hiburan yang berkelas. Yang ringan seperti film, jika menonton layar tancap akan dikenakan biaya karcis perindividu. Yang berkelas seperti game ketangkasan yang ada di mall-mall, time zone. Yang tidak akan puas bermain hanya sekali, dan otomoatis setiap kali bermain ada biayanya. Lalu bagaimana pandangan Ghazali dalam ekonomi?

Dalam wacana pemikiran filsafat Islam maupun tasawuf, tidak diragukan lagi bahwa Hujjat al-Islam al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H) merupakan salah seorang pemikir Islam yang sangat populer. Ia tidak hanya terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam sejarah intelektual manusia pada umumnya.

Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam konteks tertentu mampu menembus dan menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan kontemporer. Di kalangan umat Islam, dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan filsafat.

Fakta ini tidak mengherankan mengingat puncak mercusuar pemikirannya, sebagaimana dapat kita lihat dari beberapa karya tulisnya, berada pada wilayah kajian ini. Meskipun demikian, sebenarnya garapan pemikiran Al-Ghazali merambah luas ke berbagai cabang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fiqh, kalam, etika, bahkan ekonomi. Dengan demikian, Al-Ghazali tidak hanya lihai berbicara soal filsafat Islam maupun tasawuf, tetapi ia juga piawai mengulas soal ekonomi, terutama soal etika keuangan Islam.

Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa.

Secara tidak langsung, ia membahas masalah timbangan, pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan intervensi pemerintah dan lain-lain.

Bernand Lewis (1993) menegaskan bahwa konsep keuangan Al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa Al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih.

Oleh karena itu, agar pandangan keuangan Al-Ghazali tertata rapi sehingga menjadi konsep yang mapan, tulisan singkat ini berusaha menggambarkan secara utuh seputar pandangan keuangan dia untuk kemudian dikaji dalam perspektif sistem ekonomi Islam.

Imam Al-Ghazali[1]

Abū Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hijrah di desa Ghazalah, di pinggir kota Tus, yang terletak pada hari ini di bahagian timur laut negara Iran, berdekatan dengan kota Mashhad, ibu kota wilayah Kahorasan. Karena ayahnya penjual benang, ia diberi nama panggilan Ghazali, yang dalam arti bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu Hamid Al-Ghazali terkenal di Barat sebagai Al-Ghazel, merupakan salah satu pemikir besar Islam.

Ayah Imam Al Ghazali sendiri adalah seorang fakir yang shalih. Beliau tidak mau makan kecuali dari karya tangannya (hasil kerjanya) sendiri, yakni dengan bekerja memintal benang. Di waktu kosong (tidak sedang bekerja), beliau suka mengaji kepada salah seorang ulama dan duduk bersamanya. Lalu memberikan pelayanan kepadanya dan bersungguh-sungguh untuk memperbaiki hubungan dengannya serta berinfak kepada ulama tersebut semampunya. Beliau apabila mendengar nasihat dan wejangan dari para ulama khususnya ulama yang biasa beliau kunjungi selalu menangis dan berdoa kepada Allah; agar anak beliau dijadikan oleh Allah sebagai orang alim yang bisa memberikan ceramah (berdakwah).

Hanya saja, kehendak Allah tidak memberinya kesempatan untuk menyaksikan apa yang menjadi harapannya itu. Namun demikian, harapannya telah terkabulkan dan doanya juga diterima oleh Allah. Sungguh beliau meninggal dunia di saat Abu Hamid dalam keadaan masih sangat belia. Sedangkan ibu dari Hujjatul Islam (Imam Al Ghazali) ini, sejarah sendiri tidak memberikan keterangan dan takdir telah membuatnya tidak dikenal masa. Akan tetapi, beliau (sang Ibu) menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh suaminya (ayah Imam Al Ghazali) ketika anaknya menjadi matahari dunia yang terbit dari ufuk kejayaan dan keagungannya, serta sang anak kala itu menduduki posisi yang terhormat di bidang ilmu pengetahuan.

Sejak muda, Imam Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa Arab dan fiqh di kota Tus kepada seorang ‘alim yang bernama asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad ar-Radhakani, kemudian Dia juga telah mempelajari ilmu nahwu dan ilmu hisab, serta telah berjaya menghafal isi al-Quran, sedangkan adiknya yang bernama Ahmad itu, sejak masa mudanya lagi sudah mula cenderung kepada ilmu tasawuf. Kemudian Dia pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Ushul Fiqih. Setelah kembali ke kota Tus selama beberapa waktu, ia pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Di kota ini, Imam Al-Ghazali belajar kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H (1085 M).

Murid Juawaini ini pada masa kecilnya belajar ilmu fiqih, sekalipun tidak mendalam di kotanya; yaitu di Thus, kepada seorang guru bernama Ahmad bin Muhammad Ar Radzkani Ath Thusi. Di tanah Thus ini, guru tersebut merupakan guru permulaan bagi Imam Al Ghazali. Adapun guru yang utama bagi sang Imam di wilayah Thus adalah Yusuf An Nasaj yang gemar dengan ilmu tasawuf dan mau menjalaninya. Yang kemudian ia kenal sebagai Imam Al Haramain.

Konsep uang[2]

Dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.

Merujuk pada kriteria tersebut, dalam soal pendefinisian uang, dia tidak hanya menekankan pada aspek fungsi uang. Definisi yang demikian ini lebih sempurna dibandingkan dengan batasan-batasan yang dikemukakan kebanyakan ekonom konvensional yang lebih mendefinisikan uang hanya sebatas pada fungsi yang melekat pada uang itu sendiri.

Oleh karena uang menurut Al-Ghazali hanya sebagai standar harga barang atau benda maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real existence-nya dianggap tidak pernah ada. Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.

Pertama, larangan menimbun uang (money hoarding). Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu masyarakat.

Menurut Al-Ghazali alasan dasar pelarangan menimbun uang karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu. Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar beredar di masyarakat sebagai sarana transaksi dan bukan untuk dimonopoli oleh golongan tertentu. Bahkan, dampak terburuk dari praktik menimbun uang adalah inflasi.

Dalam hal ini teori ekonomi menjelaskan bahwa antara jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia mempunyai hubungan erat sekaligus berbanding terbalik. Jika jumlah uang beredar melebihi jumlah barang yang tersedia, akan terjadi inflasi.

Sebaliknya, jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia maka akan terjadi deflasi. Keduanya sama-sama penyakit ekonomi yang harus dihindari sehingga antara jumlah uang beredar dengan barang yang tersedia selalu seimbang di pasar.

Kedua, problematika riba. Secara sederhana riba adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang batil. Secara eksplisit larangan riba terdapat dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 275, 278-279, Ar- Rum 29, An-Nisa’ 160-161, dan Ali Imran 130. Alasan mendasar Al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan riba dengan cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh agama.

Ketiga, jual beli mata uang. Salah satu hal yang termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang. Dalam hal ini, Al-Ghazali melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata uang diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.

Demikian sekelumit pandangan keuangan Al-Ghazali yang sarat dengan semangat kemanusiaan universal serta etika bisnis Islami. Meskipun demikian untuk menjadi konsep yang mapan dan sempurna, pemikiran keuangan Al-Ghazali yang masih berserakan tersebut memerlukan kerja keras dari para pewarisnya untuk kemudian merekonstruksi ulang secara sistematis dan logis.


Permintaan dan penawaran

Selanjutnya Imam al Ghazali menyatakan secara jelas tentang mutualitas dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya. Ia menyadari bahwa aktivitas perdagangan memberikan nilai tambah terhadap barang-barang kerena perdagangan membuat barang-barang dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang tepat. Di dorong oleh kepentingan pribadi orang-orang, pertukaran menimbulkan perantara-perantara yang mencari laba, yaitu perdagangan. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdagangan merupakan hal yang esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan baik. Imam al Ghazali juga menyebutkan perlunya rute perdagangan yang terjamin dan aman. Negara harus memberikan perlindungan sehingga pasar dapat meluas dan perekonomian dapat tumbuh.

Salah satunya adalah pandangan Abu Hamid al Ghazali (1058-1111). Mungkin cukup mengejutkan jika dia menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran. Maklum, ia dikenal sebagai ahli tasawuf.

Bagi al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, dari juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al Ghazali menyatakan:

Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tida ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pande besi yang tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.

Imam Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan perdagangan regional. Kata Ghazali:

"Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada giliran menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan makan oleh orang lain juga. (Ihya, III:227).

Jelaslah Imam Ghazali menyadari kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan tempat di mana dibutuhkan

Al ghazali juga memperkenal teori permintaan dan penawaran; jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.

Imam Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang[3]. Walaupun ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak (Ihya Ulumuddin, II:75-6, 84).

Kesimpulan

al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna. Al-Ghazali beranggapan bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsic dan terkait dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.

Selanjutnya Imam al Ghazali menyatakan secara jelas tentang mutualitas dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya. perdagangan merupakan hal yang esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan baik dia menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran.



[1] . seorang filusuf muslim pengaran ihya’

[3] . Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin,IV,110

0 comments: