Monday, May 17, 2010

Sejarah dan landasan hukum Bank syari’ah

Sejarah dan landasan hukum Bank syari’ah

Oleh: Adib susilo/ muamalat 6

A. Pengertian Lembaga Keuangan Syariah (Bank Syari’ah)

Kata bank dari kata banque dalam bahasa prancis, dan dari banco dari bahasa Italia, yang berarti peti/lemari atau bangku. Kata peti atau lemeri menyiratkan fungsi sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya.[1] Dalam Al-Quran , istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit. Tetapi jika yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebut dengan jelas, seperti Zakat, sadaqah, ghanimah, bai, dayn, maal, dan sebagainya, yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.[2]

Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagangan utamanya.

Kegiatan dan usaha bank akan selalu berkaitan dengan komoditas antara lain:[3]

1. Pemindahan uang

2. Menerima dan membayar kembali uang dalam rekening Koran

3. Mendiskonto surat wesel, atau order maupun surat-surat berharga lainnya

4. Membeli dan menjual surat-surat berharga

5. Membeli dan menjual cek wesel, surat wesel, kertas dagang\

6. Memberi kredit

7. Memberi jaminan kredit

B. Sejarah Perkembangan Bank Syariah

Gagasan mengenai bank yang menggunakan system bagi hasil telah muncul sejak lama, ditandai dengan banyaknya pemikir-pemikir muslim yanh menulis tentang keberadaan bank syariah, misa;nya Anwar kureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), Dn Mahmud Ahmad (1952). Kemudian uraian yang lebih terperinci tentang gagasan itu ditulis oleh Mawdudi (1961). Demikian juga dengan tulisan-tulisan Muhammad Hamidullah yang ditulis pada 1944, 1955, 1957, dan 1962, bisa dikategorikan sebagai gagasan pendahulu mengenai perbankan islam.

Sejarah perkembangan bank syariah modern tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non-konvensional.[4] Rintisan bank syariah lainnya adalah dengan berdirinya Mit Ghamr Lokal Saving Bank pada tahun 1963 di Mesir oleh Dr Ahmad El-Najar.

Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat Internasional, muncul dalam konferensi njegara-negara Islam sedunia, di Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 21-27 April 1969, yang diikuti oleh 19 negara peserta.

a. Berdirinya Bank Syariah di Indonesia

Perkembangan bank syariah di Indonesia di pengaruhi oleh berkembangnya bank-bank syariah di Negara-negara Islam. Pada awal tahun 1980-an , diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan ditanah air, Beberapa uji coba pada skala yang relative terbatas telah diwujudkan. Diantaranya adalah Baitut Tamwil-salman, Bandung,yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koprasi, yakni koprasi Ridho Gusti.

Akan tetapi prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,Bogor, Jawa Barat. Hasil Lokakarya tersebut di bahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat MUNAS MUI, di bentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank islam di Indonesia.

Kelompok kerja yang disebut Tim perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbankan MUI tersebut diatas. Akte pendirian Bank Muamalat Indonesia di tanda tangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penanda tanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak 84 miliar Rupiah.Bank Muamalat Indonesia mulai beroprasi pada tanggal 1 Mei 1992.Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar. Pada awal pendiriannya ,keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum oprasi bank yang menggunakan system syariah ini hanya dikategorikan sebagai "bank bengan system bagi hasil" , tidak terdapat rincian landasan hokum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat system bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan "sisipan" belaka.

Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya undang-undang No.10 Tahun 1998. dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hokum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioprasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.[5]

Salah satu batasan bank Indonesia bagi bank-bank yang baru berdiri adalah tidak dapat membuka cabang baru selama dua tahun pertama. Jika setelah dua tahun, bank-bank dalam keadaan sehat barulah dapat diijinkan membuka cabang baru, batasan ini juga berlaku bagi bank syariah, padahal konsep ini harus secepatnya dimasyarakatkan, disamping masyarakat sendiri dadpat menantinya. Salah satu solusinya adalah dengan mendirikan BPRS Syariah.[6]

Inilah salah satu peran penting bank syariah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih bank minded atau lebih tepatnya lebih Islamic Bank Minded.

C. Perbedaan mendasar antara Bank Syari’ah dan Bank Konvensional

Setiap lembaga keuangan syariah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan di dunia dan diakhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama, harus dihindari. Dan inilah yang menjadi perbedaan dasar antara Bank Syari’ah dan Bank Konvensional

Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya:

1. Menghindari penggunaan system yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman:34)

2. Menghindari penggunaan system prosentase untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsure melipat gandakan secara otomatis hutang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Ali Imron:130)

3. Menghindari penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba)

4. Mennghindari penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan diatas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim Bab Riba)

5. Menerapkan system bagi hasil dan perdagangan. Dengan mengacu pada Quran surat Al baqarah ayat 257 dan Annisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasarkan oleh adanya pertukaran uang dengan barang.[7]

D. Landasan Hukum Bank Syariah di Indonesia

Bank syariah di Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sector perbankan pada tahun 1983. Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan, penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol persen atau peniadaan bunga sama sekaligus. Sungguhpun kesempatan ini belum termanfaatkan karena tidak diperkenankanya pembukaan kantor cabang baru. Hal ini berlangsung sampai tahun 1988, dimana pemerintah mengeluarkan pakto 1988 yang diperkenankan berdirinya anak-anak baru. Kemudian posisi perbankan syariah semakin pasti setelah disyahkannya UU perbankan no. 7 tahun 1992 dimana bank di berikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan bagi hasil[8].

Dengan terbitnya PP No 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa "bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak brerdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan kegiatan bagi hasil" (pasal 6). Kini titik kulminasi telah tercapai dengan disahkannya UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank syariah maupun yang ingin mengkonversi dari system konvensional ke system syariah.

Disamping ketentuan-ketentuan diatas Bank syariah di Indonesia juga dibatasi oleh pengawasan yang dilaukan oleh Dewan pengawas Syariah . Hal yang terakhir ini memberikan implikasi bahwa setiap produk Bank Syariah mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah terlebih dahulu sebelum diperkenalkan kepada mesyarakat.[9]

Adanya tuntutan perkembangan maka Undang-undang perbankan Nomor 7 tahun 1992 kemudian di revisi menjadi Undang-undanang Nomor 10 tahun 1998. Undang-undang ini melakukkan revisi beberapa pasal yang dianggap penting, dan merupakan aturan hokum secara leluasa menggunakan istilah syariah dengann tidak lagi menggunakan istilah bagi hasil.

Untuk menjalankan UU tersebut selanjutnya dikeluarkan surat keputusan Direrksi Bank Indonesia tentang bank umum dan bank perkreditan rakyat tahun 1999 dilengkapi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah.[10]



[1] Zainul Arifin, (2002), Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Alfabet, Jalarta, h. 2

[2] Zainul Arifin, (2002),ibid, h.3.

[3] Tim redaksi, (1994), Ensiklopedi hokum Islam, PT.Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta. H. 194.

[4] Muh.Syafii Antonio, (2001), Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, h.18.

[5] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktik, , Gema Insani Press, Jakarta, cet1 2004 hal 26-27

[6] Muhamad, Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, cet 1 2000, hal 53-54

[7] Ibid,2-3.

[8] Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah, EKONISIA, Yogyakarta, 2004, cet 1 hal 4

[9] Ibid hal 4-5

[10] Ibid hal 5-6

0 comments: