Monday, March 29, 2010

nikmat sehat

nikmat sehat tak akan kita rasakan kecuali kita telah merasakan perihnya rasa sakit. seperti itulah kiranya yang aku rasakan saat ini. kepada para pembaca sebelumnya aku mohon maaf jika tulisan ini seperti tidak ada korelasi dengan tulisanku sebelumnya. yach namanya juga blog narsis jadi ya senarsis mungkin isinya.
sehat merupakan anugerah yang dapat dinikmati oleh setiap makhluk ciptaan tuhan, dalam konteks ini manusia. jika kita sehat kita dapat melakukan segala aktivitas yang kita ingin kan tanap ada sesuatu hal pun yang dapat menghalangi. kita dapat berjalan-jalan, tertawa riang, olahraga sepuasnya, belajar dengan tenang, namun itu tidak akan terjadi di mana anugerah yang telah diberikan Allah itu di ambil atau di tahan oleh pemiliknya. apa yang terjadi kemudian?
makan tak nyaman, tidur tak nyenyak, olahraga tak dapat, bahkan untuk bergerak pun sulitnya minta ampun. jika sudah seperti itu barulah kita menyadari betapa nikmatnya sehat yang sebelumnya telah di anugerahkan kepada kita. dengan melihat nikmatnya orang lain ketika makan, senangnya teman-teman berolahraga, dan nyenyaknya tetangga kita tidur, barulah kita menyesali kenapa harus ada rasa sakit?
namun dibalik itu, rasa sakit merupakan ujian kepada kita agar kita dapat berintrospeksi diri dari apa yang telah kita lakukan, baik terhadap diri sendiri, lingkungan ataupun orang di sekitar kita. jadi nikmat Tuhan kamu yang manakah yang telah kamu dustakan? ( Ar-rahman)
maka dari itu alangkah baiknya kita mensyukuri nikmat yang Telah Allah berikan sekecil apapun nikmat tersebut. entah itu hanya sekedar rasa senang, atau dapat nilai bagus dari satu materi, atau di traktir teman. karena kita tidak pernah tahu cara Tuhan memberi nikmat atau rizkinya, apa lagi jika datang dari hal yang tak di sangka-sangka.

Thursday, March 11, 2010

KONSEP DASAR ASURANSI SYARI’AH DAN PERBEDAANNYA DENGAN ASURANSI KONVENSIONAL

KONSEP DASAR ASURANSI SYARI’AH DAN PERBEDAANNYA DENGAN ASURANSI KONVENSIONAL
Oleh Adib Susilo/ Mua’amalat VI

PENDAHULUAN
Lembaga keuangan nonbank yang ada di Indonesia salah satunya adalah asuransi. Lembaga ini menampung uang dari nasabah untuk masa depan. Namun terdapat beberapa kekurangan di dalam polis asuransi seperti, adanya unsure penipuan yang halus di lembaga asuransi yang nakal, ada juga yang lainnya seperti pemindahan resiko yang di ikuti pemindahan kepemilikan yang sebelumnya dimilki oleh seseorang menjadi milik perusahaan asuransi yang di ikuti oleh oaring tersebut. Dan masih banyak kejanggalan-kejanggalan yang ada di dalam asuransi konvensional. Yang merupakan pelanggaran hukum terselubung dari perusahaan asuransi jonvensional
Namun demikian asuransi juga memiliki manfaat, tapi kendalanya adalah seperti apa yang telah tersebutkan di atas. Maka muncul lah asuransi syar’ah sebagai solusi dari asuransi konvensional. Bagaimana konsep asuransi syari’ah? Apa yang membedakannya dengan asuransi konvensional
Makalah ini akan mencoba mengupas permasalahan tersebut. Bagaimana konsepnya? Apa pula perbedaan antara keduanya?
KONSEP DASAR ASURANSI SYARI’AH
Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, 'Dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu." Hadist Nabi Muhammad SAW, "Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu bangunan memperkuat satu sama lain," Dan "Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan. Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh badan merasakannya.
Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi.
Perbedaan Antara Keduanya
Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:
Akad (Perjanjian)
Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).
Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa" menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).
Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa.
Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.
Tabarru dan Tabungan
Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.
Maisir (Judi)
Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan."
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya.
Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." Hadist, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)
Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.
Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah
Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.
Dewan Pengawas Syariah
Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.
Itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Apabila dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya, maka sistem asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada.

PENUTUP
Asuransi merupakan hal penting sebagai tabungan tak terduga saat terjadi keadaan darurat. Sehingga dapat membantu meringankan beban bagi yang memiliki kendala atau masalah yang sedang dihadapi. Namun umat muslim tetaplah harus berhati-hati terhadap penipuan terselubung dan pandai-pandai memilih dan memilah antara asuransi syari’ah dan konvensional.
Karena konsep yang berbeda dimana asuransi syari’ah memiliki konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk. Sedangakan konvesional konsepnya adalah transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi. Hal ini akan menguntungkan sebelah pihak saja yaitu perusahaan asuransi tanpa memperdulikan peserta polis.
Dan perbedaan-perbedaan mendasar yang lain seperti akad yang berbeda antara keduanya, unsure gharar, maisir, riba dalam konvensional yang tidak ada dan tidak boleh ada dalam asuransi syari’ah, di dalam asuransi syari’ah unsure tabungan dan ta’awun sangat diterapkan dan yang harus ada adalah dewan pengawas syari’ah. Inilah beberapa unsure pembeda antara asuransi syari’ah dan konvensional. Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi kita semua. Amin

REFERENSI
- Syakir sula, Muhammad, AAIJ, FIIS, Asuransi syari'ah konsep dan sistem operasional, GIP 2004
- www.wikipedia.com
- www.bi.go.id
- www.mui.or.id/mui_in/prudoct_2

KONSEP UANG SERTA PERMINTAAN DAN PENAWARAN MENURUT PANDANGAN AL-GHAZALI

KONSEP UANG SERTA PERMINTAAN DAN PENAWARAN MENURUT PANDANGAN AL-GHAZALI

Oleh: Adib Susilo/mu’amalat VI

Dalam kehidupan ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, khususnya kehidupan dunia. Seluruh aspek yang ada dalam kehidupan hampir tidak lepas dengan yang namanya uang. Segala sesuatu hamper seluruhnya dinilai dengan materi di dalam kehidupan manusia.

Seperti makan, minum, pendidikan, hiburan, dan lain sebagainya hampir seluruhnya harus menggunakan uang. Makan tanpa uang amat sangat sulit semua bahan makanan pokok harus dibeli dengan uang, begitu pula dengan minuman, jika ingin minuman enak dan beda dari biasanya, harus dibeli dengan uang. Bahkan air putih pun dibeli dengan uang.

Pendidikan dinegeri ini –Indonesia- pun harus dengan uang yang tidak sedikit, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi tidak ada yang gratis. Memang ilmu tidak murah, tapi bayaran bukan untuk pendidik, melainkan jalan untuk mendapatkan pendidikan itulah yang seharusnya dipenuhi. Namun pada kenyataannya biaya pendidikan tersebut kian tahun kian meningkat, tapi hasilnya kurang sesuai dari apa yang telah di keluarkan.

Begitu pula dengan hiburan, tidak lepas dari yang namanya uang. Entah itu yang ringan atau hiburan yang berkelas. Yang ringan seperti film, jika menonton layar tancap akan dikenakan biaya karcis perindividu. Yang berkelas seperti game ketangkasan yang ada di mall-mall, time zone. Yang tidak akan puas bermain hanya sekali, dan otomoatis setiap kali bermain ada biayanya. Lalu bagaimana pandangan Ghazali dalam ekonomi?

Dalam wacana pemikiran filsafat Islam maupun tasawuf, tidak diragukan lagi bahwa Hujjat al-Islam al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H) merupakan salah seorang pemikir Islam yang sangat populer. Ia tidak hanya terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam sejarah intelektual manusia pada umumnya.

Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam konteks tertentu mampu menembus dan menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan kontemporer. Di kalangan umat Islam, dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan filsafat.

Fakta ini tidak mengherankan mengingat puncak mercusuar pemikirannya, sebagaimana dapat kita lihat dari beberapa karya tulisnya, berada pada wilayah kajian ini. Meskipun demikian, sebenarnya garapan pemikiran Al-Ghazali merambah luas ke berbagai cabang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fiqh, kalam, etika, bahkan ekonomi. Dengan demikian, Al-Ghazali tidak hanya lihai berbicara soal filsafat Islam maupun tasawuf, tetapi ia juga piawai mengulas soal ekonomi, terutama soal etika keuangan Islam.

Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa.

Secara tidak langsung, ia membahas masalah timbangan, pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan intervensi pemerintah dan lain-lain.

Bernand Lewis (1993) menegaskan bahwa konsep keuangan Al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa Al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih.

Oleh karena itu, agar pandangan keuangan Al-Ghazali tertata rapi sehingga menjadi konsep yang mapan, tulisan singkat ini berusaha menggambarkan secara utuh seputar pandangan keuangan dia untuk kemudian dikaji dalam perspektif sistem ekonomi Islam.

Imam Al-Ghazali[1]

Abū Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hijrah di desa Ghazalah, di pinggir kota Tus, yang terletak pada hari ini di bahagian timur laut negara Iran, berdekatan dengan kota Mashhad, ibu kota wilayah Kahorasan. Karena ayahnya penjual benang, ia diberi nama panggilan Ghazali, yang dalam arti bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu Hamid Al-Ghazali terkenal di Barat sebagai Al-Ghazel, merupakan salah satu pemikir besar Islam.

Ayah Imam Al Ghazali sendiri adalah seorang fakir yang shalih. Beliau tidak mau makan kecuali dari karya tangannya (hasil kerjanya) sendiri, yakni dengan bekerja memintal benang. Di waktu kosong (tidak sedang bekerja), beliau suka mengaji kepada salah seorang ulama dan duduk bersamanya. Lalu memberikan pelayanan kepadanya dan bersungguh-sungguh untuk memperbaiki hubungan dengannya serta berinfak kepada ulama tersebut semampunya. Beliau apabila mendengar nasihat dan wejangan dari para ulama khususnya ulama yang biasa beliau kunjungi selalu menangis dan berdoa kepada Allah; agar anak beliau dijadikan oleh Allah sebagai orang alim yang bisa memberikan ceramah (berdakwah).

Hanya saja, kehendak Allah tidak memberinya kesempatan untuk menyaksikan apa yang menjadi harapannya itu. Namun demikian, harapannya telah terkabulkan dan doanya juga diterima oleh Allah. Sungguh beliau meninggal dunia di saat Abu Hamid dalam keadaan masih sangat belia. Sedangkan ibu dari Hujjatul Islam (Imam Al Ghazali) ini, sejarah sendiri tidak memberikan keterangan dan takdir telah membuatnya tidak dikenal masa. Akan tetapi, beliau (sang Ibu) menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh suaminya (ayah Imam Al Ghazali) ketika anaknya menjadi matahari dunia yang terbit dari ufuk kejayaan dan keagungannya, serta sang anak kala itu menduduki posisi yang terhormat di bidang ilmu pengetahuan.

Sejak muda, Imam Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa Arab dan fiqh di kota Tus kepada seorang ‘alim yang bernama asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad ar-Radhakani, kemudian Dia juga telah mempelajari ilmu nahwu dan ilmu hisab, serta telah berjaya menghafal isi al-Quran, sedangkan adiknya yang bernama Ahmad itu, sejak masa mudanya lagi sudah mula cenderung kepada ilmu tasawuf. Kemudian Dia pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Ushul Fiqih. Setelah kembali ke kota Tus selama beberapa waktu, ia pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Di kota ini, Imam Al-Ghazali belajar kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H (1085 M).

Murid Juawaini ini pada masa kecilnya belajar ilmu fiqih, sekalipun tidak mendalam di kotanya; yaitu di Thus, kepada seorang guru bernama Ahmad bin Muhammad Ar Radzkani Ath Thusi. Di tanah Thus ini, guru tersebut merupakan guru permulaan bagi Imam Al Ghazali. Adapun guru yang utama bagi sang Imam di wilayah Thus adalah Yusuf An Nasaj yang gemar dengan ilmu tasawuf dan mau menjalaninya. Yang kemudian ia kenal sebagai Imam Al Haramain.

Konsep uang[2]

Dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.

Merujuk pada kriteria tersebut, dalam soal pendefinisian uang, dia tidak hanya menekankan pada aspek fungsi uang. Definisi yang demikian ini lebih sempurna dibandingkan dengan batasan-batasan yang dikemukakan kebanyakan ekonom konvensional yang lebih mendefinisikan uang hanya sebatas pada fungsi yang melekat pada uang itu sendiri.

Oleh karena uang menurut Al-Ghazali hanya sebagai standar harga barang atau benda maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real existence-nya dianggap tidak pernah ada. Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.

Pertama, larangan menimbun uang (money hoarding). Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu masyarakat.

Menurut Al-Ghazali alasan dasar pelarangan menimbun uang karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu. Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar beredar di masyarakat sebagai sarana transaksi dan bukan untuk dimonopoli oleh golongan tertentu. Bahkan, dampak terburuk dari praktik menimbun uang adalah inflasi.

Dalam hal ini teori ekonomi menjelaskan bahwa antara jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia mempunyai hubungan erat sekaligus berbanding terbalik. Jika jumlah uang beredar melebihi jumlah barang yang tersedia, akan terjadi inflasi.

Sebaliknya, jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia maka akan terjadi deflasi. Keduanya sama-sama penyakit ekonomi yang harus dihindari sehingga antara jumlah uang beredar dengan barang yang tersedia selalu seimbang di pasar.

Kedua, problematika riba. Secara sederhana riba adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang batil. Secara eksplisit larangan riba terdapat dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 275, 278-279, Ar- Rum 29, An-Nisa’ 160-161, dan Ali Imran 130. Alasan mendasar Al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan riba dengan cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh agama.

Ketiga, jual beli mata uang. Salah satu hal yang termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang. Dalam hal ini, Al-Ghazali melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata uang diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.

Demikian sekelumit pandangan keuangan Al-Ghazali yang sarat dengan semangat kemanusiaan universal serta etika bisnis Islami. Meskipun demikian untuk menjadi konsep yang mapan dan sempurna, pemikiran keuangan Al-Ghazali yang masih berserakan tersebut memerlukan kerja keras dari para pewarisnya untuk kemudian merekonstruksi ulang secara sistematis dan logis.


Permintaan dan penawaran

Selanjutnya Imam al Ghazali menyatakan secara jelas tentang mutualitas dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya. Ia menyadari bahwa aktivitas perdagangan memberikan nilai tambah terhadap barang-barang kerena perdagangan membuat barang-barang dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang tepat. Di dorong oleh kepentingan pribadi orang-orang, pertukaran menimbulkan perantara-perantara yang mencari laba, yaitu perdagangan. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdagangan merupakan hal yang esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan baik. Imam al Ghazali juga menyebutkan perlunya rute perdagangan yang terjamin dan aman. Negara harus memberikan perlindungan sehingga pasar dapat meluas dan perekonomian dapat tumbuh.

Salah satunya adalah pandangan Abu Hamid al Ghazali (1058-1111). Mungkin cukup mengejutkan jika dia menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran. Maklum, ia dikenal sebagai ahli tasawuf.

Bagi al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, dari juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al Ghazali menyatakan:

Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tida ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pande besi yang tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.

Imam Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan perdagangan regional. Kata Ghazali:

"Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada giliran menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan makan oleh orang lain juga. (Ihya, III:227).

Jelaslah Imam Ghazali menyadari kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan tempat di mana dibutuhkan

Al ghazali juga memperkenal teori permintaan dan penawaran; jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.

Imam Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang[3]. Walaupun ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak (Ihya Ulumuddin, II:75-6, 84).

Kesimpulan

al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna. Al-Ghazali beranggapan bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsic dan terkait dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.

Selanjutnya Imam al Ghazali menyatakan secara jelas tentang mutualitas dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya. perdagangan merupakan hal yang esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan baik dia menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran.



[1] . seorang filusuf muslim pengaran ihya’

[3] . Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin,IV,110

Wednesday, March 10, 2010

bubur pedas

BUBUR PEDAS
Bubur pedas atau biasa di sebut bubor pedas dengan logat melayu, melayu Kal-Bar khususnya. masakan ini merupakan masakan yang unik meskipun banyak masakan yang sama atau sejenis dan bahkan banyak daerah atau negara tetangga yang mengakui ini sebagai makanan khas daerahnya. Bagi saya bubur pedas di Kal-Bar memiliki cita rasa tersendiri yang membedakan dengan masakan yang sejenis, yang ada di daerah lain. Mengapa demikian?
Hal ini karena bumbu dan bahan dasar dari bubur pedas sangat beragam. Mulai dari sayuran-nya yang beraneka ragam. Ada pakis yang menjadi ciri khas masakan ini, kecambah, cangkok manis, kangkung, kacang panjang, wortel, ubi jalar, kentang, dan lainnya yang tidak dapat saya tuliskan di sini. Semua sayuran itu di potong kecil-kecil. Bahan dasar yang tidak boleh di lupakan dalam masakan ini adalah beras sangrai yang di giling halus, inilah yang menjadi bubur nantinya. kemudian campuran lainnya adalah tetelan sapi, ini membuat bubur pedas lebih gurih. selanjutnya bahan tambahan yang menambah ciri khas bubur pedas adalah daun kesum. wangi daun ini membuat bubur pedas memiliki aroma berbeda dan menambah rasa sensasi berbeda dari masakan lainnya. tambahan yang tak kalah penting yaitu ikan teri dan kacang goreng. hmmmmm lembutnya bubur pedas yang gurih dan di padu dengan aneka bahan-bahan di lengkapi dengan kacang dan ikan teri goreng membuat rasa masakan ini menendang tenggorokan, dan menggoyang lidah saat dimakan. siapa-pun yang memakan bubur pedas seolah tak ingin berhenti memakannya meskipun sudah kenyang. Apa sich penyebabnya?
cara makan
cara makan bubur pedas maksudnya adalah bagaimana membuat sensasi nikmat bubur pedas tersebut menjadi lebih nikmat lagi. Yaitu dengan menambah kan perasan jeruk sambal, serta kecap secukupnya dan sambal cair yang pedas. campuran semua rasa, dari gurih, asam manis, pedas. memberikan sensasi tersendiri saat menyantap masakan ini. Seolah-olah membuat kita kecanduan ingin memakan hingga tetes terakhir. Anda ingin mencoba? luangkanlah waktu anda untuk jalan2 ke Kal-Bar dan rasakan sensasi dari masakan ini!!!

bubur pedas selesai di masak











bubur pedas siap di santap hmmmm yummmy










asam pedas

asam pedas merupakan salah satu masakan khas orang melayu, khususnya pontianak. Siang hari yang terik panasnya sangat menyengat apa lagi di bumi khatulistiwa akan sangat nikmat menyantap masakan ini. Rasa asam dan pedas-nya yang tercampur pada kuah-nya, serta aroma jeruk membuatnya terasa segar ketika disantap. Dan juga ikan yang terasa gurih dan lebih berlemak, membuat masakan melayu ini menjadi pilihan yang tepat untuk menu siang hari. Di sajikan dengan nasi hangat dan minuman dingin. hmmmm teriknya matahari seolah hilang karena kesegaran rasa masakan ini meresap ke seluruh tubuh.
IKAN
ikan yang dapat digunakan untuk memasak menu ini bervariasi tergantung selera dan lidah anda, anda dapat menggunakan ikan bawal, ikan mas, ikan lele, ikan gabus, ikan kakap, dan lain sebagainya. akan lebih nikmat jika menggunakan ikan air payau atau ikan air tawar karena akan serasi dengan bumbu-bumbu dasar asam pedas ini. tapi menurut saya ikan yang paling nikmat dimasak asam pedas adalah ikan kakap, khususnya kakap merah, dan ikan gabus.

asam pedas dengan ikan bawal















mau di bawa kemana

lompatan awal dari segala kegiatan merupakan setengah dari perjalanan ke depan dari kegiatan itu sendiri. Jika lompatan awal itu baik maka dapat diestimasikan atau di kira-kira bagaimana perjalanan ke depannya, begitu pula sebaliknya. begitu pula yang terjadi di sebuah lembaga pendidikan, lembaga ini punya sebuah kebiasaan yang sangat positif yaitu selalu mengawali tahun ajaran ataupun semesternya dengan sebuah upacara pembukaan dan mengakhirinya dengan tasyakuran. Namun baru-baru ini beberapa hari yang lalu sebelum tulisan ini di tulis oleh si penulis, kebiasaan itu seolah hilang. Upacara pembukaan yang seharusnya diadakan pada hari senin, ternyata tidak jadi karena tidak ada persiapan sedikitpun dari panitia, bahkan tak ada satupun panitia yang "nongol" pada waktu itu. Sehingga para peserta lembaga pendidikan tersebut bertanya-tanya, "jadi ga sich upacara hari ini?" tak ada yang dapat menjawab pada waktu itu, yang ada hanya sebuah pemahaman sebagai hasil dari pengamatan bahwa tidak ada kesiapan dari panitia. 2 hari setelah hari tersebut tersiar berita bahwa pada hari rabu 10-03-2010 akan di adakan upacara pembukaan, padahal seharusnya sudah lewat dari waktu yang di tentukan. Dan berita itu pun merupakan perintah dari atasan panitia yang pada akhirnya menunjukkan ada misscommunication antar atase, serta gap yang cukup lebar antar mereka. malang tak dapat ditolak untung tak dapat di raih, para peserta yang melihat figurnya seolah kehilangan pegangan, merasa bingung jalan mana yang harus kami lalui? tambah lagi kesalahan yang tak jelas namun tampak ini kembali para peserta didik yang menjadi tempat lemparan batu kesalahan. Apakah ini yang seharusnya dilakukan atase kepada peserta didik-nya?
pertanyaan yang muncul adalah mau dibawa ke mana perjalanan lembaga ini satu semester ke depan jika lompatan awalnya bukan hanya buruk namun telah gagal? dan haruskah peserta didik yang menjadi pelampiasan kesalahan? lalu untuk apa disiplin terhadap peserta didik terus di tingkatkan sedangkan para atase dan panitianya tidak memberi contoh yang baik dan benar?
jawabannya adalah sikapi hal ini dengan dewasa jangan saling menyalahkan apalagi melempar kesalahan kepada orang lain. Namun jadikan ini sebagai evaluasi dan pelajaran. Agar lembaga pendidikan tersebut lebih bijak dan lebih baik. seperti kata pepatah arab yang artinya aku bukanlah orang yang menghormati orang yang tidak menghormati ku dan aku bukanlah orang yang memandang orang yang tidak memandang ku. baiklah para pembaca yang budiman, apa yang terjadi selanjutnya pada lembaga ini? kita lihat, dengar, dan rasakan bersama bagaimana jadinya lembaga ini selama semester ke depan.