Saturday, January 7, 2012

TEORI PENAWARAN DAN PERMINTAAN ISLAM

Teori Penawaran dan Permintaan Islam
Oleh: Adib Susilo

Penawaran

Dalam memanfaatkan alam yang telah disediakan Allah bagi keperluan manusia, larangan yang harus dipatuhi adalah “Janganlah kamu membuat kesrusakan di muka bumi”. Larangan ini tersebar di banyak tempat dalam Al-Qur'an dan betapa Allah sangat membenci mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi. Meskipun definisi kerusakan tersebut sangat luas, akan tetapi dalam kaitannya dengan produksi, larangan tersebut memberi arahan nilai dan panduan moral. Produksi Islami bukan hanya dilarang mengkibatkan kerusakan dalam memanfaatkan alam dan lingkungan, artinya ia tidak boleh mengakibatkan hutan menjadi gundul dan berubah menjadi lahan kritis yang mengakibatkan banjir dan longsor, menimbulkan polusi yang di atas ambang batas yang aman bagi kesehatan. Produksi Islami juga haram menghasilkan produk-produk yang apabila dikonsumsi akan menimbulkan kerusakan, baik itu rusaknya kesehatan, apalagi rusalanya moral dan kepribadian.

Aturan etika dan moral yang membatasi kegiatan produksi tersebut tentu saja berpengaruh terhadap fungsi penawaran barang dan jasa. Sebagai contoh, apabila suatu proses produksi menghasilkan polusi, maka biaya lingkungan dan sosial tersebut harus dihitung dalam ongkos produksi sehingga ongkos meningkat dan penawaran akan berkurang. Di negara Barat, hal tersebut telah dilakukan dengan mengenakan pajak polusi atau dikenal dengan istilah Pigouvian Tax yang tujuannya agar perusahaan memperhitungkan biaya eksternal yang timbul akibat kegiatan produksinya sehingga mempengaruhi keputusan produksi dan penjualannya[1].

Secara umum tidak banyak perbedaan antara teori permintaan konvensional dengan Islami sejauh hal itu dikaitkan dengan variabel atau faktor yang turut berpengaruh terhadap posisi penawaran. Bahkan bentuk kurva secara umum pada hakekatnya sama. Satu aspek penting yang memberikan suatu perbedaan dalam pespektyif ini kemungkinan besara berasal dari landasan filosofi dan moralitas yang didasarkan pada premis nilai-nilai Islam.

Yang pertama adalah bahwa Islam memandang manusia secara umum, apakah sebagai konsumen atau produsen, sebagai suatu objek yang terkait dengan nilai-nilai. Nilai-nilai yang paling pokok yang didorong oleh Islam dalam kehidupan perekonomian adalah kesederhanaan, tidak silau dengan gemerlapnya kenikmatan duniawi (zuhud) dan ekonomis (iqtishad). Inilah nilai-nilai yang seharusnya menjadi trend gaya hidup Islamic man. Yang kedua adalah norma-norma Islam yang selalu menemani kehidupan manusia yaitu halal dan haram. Produk-produk dan transaksi pertukaran barang dan jasa tunduk kepada norma ini. Hal-hal yang diharamkan atas manusia itu pada hakekatnya adalah barang-narang atau transaksi-transaksi yang berbahaya bagi diri mereka dan kemaslahatannya.

Namun demikian, bahaya yang ditimbulkan itu tidak selalu dapat diketahui dan dideteksi oleh kemampuan indrawi atau akal manusia dalam jangka pendek. Sikap yang benar dalam menghadapi persoalan ini adalah kepatuhan kepada diktum disertai pencarian hikmah di balik itu. Dengan kedua batasan ini maka lingkup produksi dan pada gilirannya adalah lingkup penawaran itu sendiri dalam ekonomi Islam menjadi lebih sempit dari pada yang dimiliki oleh ekonomi konvensional. Dengan demikian terdapat dua penyaringan(filtering) yang membuat wilayah penawaran (domain) dalam ekonomi Islam menyempit yaitu filosofi kehidupan Islam dan norma moral Islam[2].

Asumsi-Asumsi

Pertama, homo economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan pemain ekonomi (economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang berusaha untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi segala keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada umumnya tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma moral, baik yang diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal ini menimbulkan dorongan tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya yang tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan manusia. Selama usaha manusia dipertaruhkan untuk memenuhi keinginannya, mengejar keuntungan dalam teori penawaran, selama itu pula ia dianggap sebagai sebuah usaha yang baik. Hal ini menimbulkan pengurasan sumber daya alam yang tersedia sehingga berakibat pada terancamnya keseimbangan ekologi terutama bagi generasi mendatang.

Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang selalu menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah)[3]. Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara syar’i. Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik.

Pengaruh Zakat Perniagaan

Objek zakat perniagaan adalah barang yang diperjualbelikan. Dalam ilmu ekonomi, ini berarti yang menjadi objek zakat perniagaan adalah revenue minus cost. Ulama berbeda pendapat mengenai komponen biaya. Sebagian berpendapat bahwa biaya tetap boleh diperhitungkan, sedang sebagian lainnya berpendapat bahwa hanya biaya variabel saja yang boleh diperhitungkan. Dalam ilmu ekonomi pendapat pertama berarti yang menjadi objek zakat adalah economic rent, sedangkan pendapat kedua berarti yang menjadi objek zakat adalah quasi rent atau producer surplus. Pendapat mana pun yang digunakan atas objek zakat ini sama sekali tidak memberikan pengaruh terhadap ATC, yang berarti pula tidak ada pengaruh terhadap profit yang dihasilkan. Pengenaan zakat perniagaan juga sama sekali tidak memberikan pengaruh terhadap MC, yang berarti pula tidak memberikan pengaruh terhadap kurva penawaran. Upaya memaksimalkan profit berarti pula memaksimalkan producer surplus, dan sekaligus berarti memaksimalkan zakat yang harus dibayar. Jadi dengan adanya pengenaan zakat perniagaan perilaku memaksimalkan profit berjalan sejalan dengan perilaku memaksimalkan zakat[4]

.Analisi Konsep Biaya dalam Teori Penawaran Ekonomi

Total Cost dan Marginal Cost

Fungsi total cost menunjukan, untuk setiap kombinasi input dan untuk setiap tingkat output, minimum total cost yang muncul adalah TC=TC(r,w,q). Meskipun fungsi total cost menggambarkan secara menyeluruh biaya yang harus dikeluaran, namun akan lebih memudahkan dalam kaitannya dengan kurva permintaan, bila analisis biaya dilakukan pada biaya per unit. Ada dua konsep biaya per unit yang dikenal :

1. Average Cost

Fungsi average total cost atau average cost adalah biaya per unit atau dihitung dengan rumus total cost dibagi dengan jumlah output yang dihasilkan. Secara matematis ditulis:

ATC = ATC (r,w,q) = TC (r,w,q) / q

2. Marginal Cost

Fungsi marginal cost adalah tambahan biaya yang muncul untuk setiap tambahan output yang dihasilkan atau dihitung dengan rumus perubahan total biaya dibagi perubahan output. Secara matematis ditulis :

MC = MC (r,w,q) = δTC (r,w,q)/ δq

Jadi fungsi total cost diturunkan dari fungsi total produksi, dan fungsi marginal cost diturunkan dari fungsi total cost. Begitu pula dengan fungsi average cost diturunkan dari fungsi total cost. Tabel berikut ini memberikan ilustrasi numerik dari hubungan komponen-komponen tersebut. Fixed cost of capital diasumsikan $ 30/jam, dan biaya variabel yaitu biaya per unit tenaga kerja adalah $ 10/jam[5]

Marginal Cost dan Kurva Penawaran

Dalam jangka pendek perusahaan akan memaksimalkan labanya dengan memilih jumlah output di mana harga sama dengan marginal cost, selama tingkat harga tersebut lebih besar daripada nilai minimal biaya variabel rata-rata (average variabecl cost, AVC). Jika kedua keadaan tersebut terpenuhi, maka itulah kurva penawaran.

Untuk setiap tingkat harga di bawah minimum AVC, jumlah yang ditawarkan adalah nihil. Pada tingkat harga sama dengan AVC, jumlah yang ditawarkan adalah Q2. Untuk setiap tingkat harga di atas AVC, jumlah yang diawarkan digambarkan oleh kurva M C. Misalnya, pada tingkat harga sama dengan ATC, jumlah yang ditawarkan adalah Q3. Jadi kurva penawaran adalah kurva marginal cost yang di atas AVC.

Perhatikanlah kurva penawaran, yaitu kurva marginal cost yang dicetak tebal. Selisih antara kurva ATC dan kurva AVC yang digambarkan dengan celah di antara kedua kurva tersebut, menggambarkan AFC (average fixed cost). Sekarang perhatikanlah kurva penawaran yang berada di antara kurva ATC dan AVC. Untuk setiap tingkat harga di atas AVC, namun di bawah ATC (yaitu antara output Q2 dan Q3), berarti perusahaan mengalami kerugian setiap output yang dijual karena harga lebih kecil dibanding ATC.

Meskipun harga lebih kecil dibanding ATC, bagi perusahaan lebih baik untuk tetap menjual outputnya karena pada tingkar harga tersebut perusahaan telah mampu membayar AVC nya. Kerugian yang masih terjadi adalah sebesar AFC nya. Ingatlah bahwa FC adalah biaya tetap yang harus dibayar perusahaan apakah perusahaan berproduksi atau tidak berproduksi. Nah, kerana AFC tetap aakan muncul berapapun jumlah output yang diproduksi, maka lebih baik bagi perusahaan untuk memproduksi output sejumlah Q2 sampai dengan Q3. Dengan demikian, perusahaan berharap memantapkan keberadaan produknya di pasar. Bila kemudian tingkat harga melampaui ATC, perusahaan ini akan membukukan laba.

Bagaimana bila perusahaan memilih untuk tidak berproduksi bila harga di bawah ATC? Kerugian perusahaan akan bertambah besar :

1. Perusahaan harus tetap menanggung AFC

2. Perusahaan tidak mempunyai kegiatan operasi yang berarti para pelaksana perusahaan tidak mempunyai pendapatan. Jadi sebagai pemilik perusahaan, ia memang tidak bagi hasil dari modal penyertaannya (dividen), namun sebagai pelaksana perusahaan ia tetap mendapat pendapatan berupa upah kerja bila tetap berproduksi. Sebaliknya jika perusahaan tidak berproduksi, maka ia akan kehilangan bagi hasil sebagai pemilik dan juga kehilangan upah kerja sebagai pelaksana.

Efisiensi Produksi (Teori Penawaran)

Suatu system produksi dikatakan lebih efisien bila memenuhi suatu kriteria;

1. minimalisasi biaya untuk memproduksi jumlah yang sama,

2. maksimalisasi produksi dengan jumlah biaya yang sama dengan criteria ini maka kita lihat mana yang lebih efisien, system produksi dengan system bunga (konvensional) atau dengan sistem Bagi Hasil (Islam).

3. Minimalisasi Biaya untuk memproduksi jumlah yang sama

Pengusaha muslim didalam melakukan produksinya mengenai beberapa sistem Muamalat diataranya Mudharabah. Secara tekhnis mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama (Shahibul Maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalm kontrak, yang disepakati berdasarkan nisbah. Apabila rugi, akan ditanggung oleh pihak pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan kecuarangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Selain menyepakati nisbah bagi hasil, mereka juga harus menyepakati siapa yang akan menanggung biaya. Dapat saja disepakati bahwa biaya ditanggung oleh pelaksana atau ditanggung oleh si pemodal. Bila disepakati biaya ditanggung oleh pelaksana berarti yang dilakukan adalah bagi penerimaan (revenue sharing). Sednagkan, bila yang disepakati biaya ditanggung oleh si pemodal, ini berarti yang dilakukan adalah bagi untung (profit sharing).

Maksimasi Produksi untuk Biaya yang Sama

Untuk mengetahui keadaan ini kita gunakan kurva biaya total yang membandingkan antara biaya total sistem bunga dengan biaya total sistem bagi hasil. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, total cost sistem bunga akan lebih tinggi daripada total cost sistem bagi hasil. Secara grafis, total cost sistem bagi hasil digambarkan dengan TCrs, sedangkan total cost sistem bunga digambarkan dengan TC1.

Gambar TC1 yang terletak pada sumbu Rp sebagaimana titik yang menggambarkan total biaya yang sama, yang diambil titik yang diatas garis FC1. Kemudian kita tarik garis horizontal sampai memotong TC dan TC1. Untuk masing-masing perpotongan antara garis horizontal dengan TC dan TC1 kita tarik garis vertical ke bawah sumbu Q. Trenyata untuk biaya total yang sama, jumlah produksi sistem bagi hasil selalu lebih besar dibandingkan jumlah produksi dengan sistem bunga, yang ditunjukkan dengan Qrs > Q. Jadi menurut criteria ini produksi bagi hasil lebih efisien dibandingkan sitem bunga.

LAMPIRAN

Gambar1: kurva pengaruh zakat perniagaan terhadap laba

Gambar2: Biaya total dan Biaya marginal

Gambar3: gambar kurva internalisasi biaya eksternal

Gambar4: Biaya kompensasi, batas ukuran dan daur ulang

Permintaan

Pada teori konsumsi yang telah dibahas sebelumnya, di jelaskan tentang bagaimana memaksimalkan tingkat kepuasan dengan batas anggaran atau budget line untuk mencapai tingkat optimal. Dan bagaimana gambaran tentang optimal solution atas barang halal dan haram.

Faktor harga merupakan variable dependen dari komditas yang akan menentukan berapa komoditi yang dibutuhkan oleh konsumen dalam permintaan barang atau jasa. Hubungan antara kuantitas pembelian optimum suatu produk dengan harga relative dari barang relative dari suatu barang dapat dirumuskan dengan kurva harga konsusmsi, bila kurva ini diturunkan maka kita akan dapat merumuskan kurva permintaan[6].

Kurva permintaan barang halal

Kurva permintaan diturunkan dari titik persinggungan antara indifference curve dengan budget line. Katakanlah seorang konsumen memiliki pendaptan I= 1 juta perbulandan memiliki pilihan konsumsi barang X dan barang Y, yang keduanya barang halal. Misalnya harga X, Px Rp. 100 ribu dan harga Y, Py Rp. 200 ribu. Titik A, A’, A” menunjukan konsumsi keseluruhan yang di alokasikan pada barang X dan titik B konsumsi yang di alokasikan pada barang Y[7].

Dengan data ini dapat dibuat budget line denga garis lurus antara dua titik.

Kombinasi

Income

Px

Py

X = I/Px

Y=I/Py

X @ tangency

A

1.000.000

100.000

200.000

10

0

3

B

1.000.000

100.000

200.000

0

5

3

Bila terjadi penurunan harga X sebesar Rp.50 ribu, maka kaki budget line pada sumbu X akan bertambah panjang. Ini membuktikan bahwa jika harga barang tersebut turun maka meningkatkan pembelian terhadap barang dengan harga Px. Sedangakan sumbu Y tidak berubah karena yang berubah adalah salah satu harga dari barang saja.

Kombinasi

Income

Px

Py

X = I/Px

Y=I/Py

X @ tangency

A’

1.000.000

50.000

200.000

20

0

4

B

1.000.000

50.000

200.000

0

5

4

Bila harga Px menjadi 25 ribu, maka kaki budget line akan semakin panjang pada sumbu X.

Kombinasi

Income

Px

Py

X = I/Px

Y=I/Py

X @ tangency

A”

1.000.000

25.000

200.000

40

0

5

B

1.000.000

25.000

200.000

0

5

5

Dengan simulasi barang X dapat kita gambarkan kurva antara harga barang dengan jumlah barang X yang diminta

Harga X

Jumlah X (X pada saat tangency/ jumlah optimal X)

100.000

3

50.000

4

25.000

5

Semakin tinggi harga, semakin sedikit yang dipinta dari jumlah barang. Dengan demikian kita mendapatkan slope kurva permintaan yang negative untuk barang halal.


Kurva permintaan barang halal dalam pilihan halal dan haram

Dalam kurva ini pilihan konsumen antara barang halal dengan barang haram optimal solution- nya adalah corner solution. Katakana pendapatan seseorang 1 juta pilihan barangnya X halal dan Y haram barang X harganya 100 ribu dan Y harganya 200 ribu. Sama seperti sebelumnya titik A, A’, A”. menunjukkan konsumsi di alokasikan pada barang X dan penurunan harga seperti sebelumnya juga terjadi.

Kombinasi

Income

Px halal

Py haram

X = I/Px

Y=I/Py

X @ tangency

A

1.000.000

100.000

200.000

10

0

10

B

1.000.000

100.000

200.000

0

5

10

Kombinasi

Income

Px

Py

X = I/Px

Y=I/Py

X @ tangency

A’

1.000.000

50.000

200.000

20

0

20

B

1.000.000

50.000

200.000

0

5

20

Kombinasi

Income

Px

Py

X = I/Px

Y=I/Py

X @ tangency

A”

1.000.000

25.000

200.000

40

0

40

B

1.000.000

25.000

200.000

0

5

40

Dengan mengasumsikan perubahan hanya pada barang X, maka aka nada 3 tipe garis berbeda

Pilihan halal X & haram Y

Pilihan halal X & halal Y

Harga X

Jumlah X ( X pada corner solution/atau jumlah optimal X)

Harga X

Jumlah X ( X pada saat tangency/atau jumlah optimal X)

100.000

50.000

25.000

10

20

40

100.000

50.000

25.000

3

4

5

Semakin tinggi harga semakin sedikit jumlah barang yang di minta. Dengan demikian kita mendapatkan kurva slope negative untuk barang halal dalam pilihan halal X dan haram Y. perbedaannya terletak pada elastisitas harga[8].

Keadaan darurat tidak optimal

Konsep halal haram sudah jelas di dalam islam[9]. Secara logika kita dihadapkan dengan dua pilihan yaitu, barang halal dan barang haram. Optimal solution adalah corner solution, yaitu dengan mengalokasikan semua pendapatan untuk mengkonsumsi barang halal. Karena mengkonsumsi barang haram meningkatakan disutility, begitu juga sebaliknya.

Ada hipotesis yang di ambil dari sebuah kisah nyata yang terjadi pada tahun 1970-an. Dimana ada sebuah pesawat yang terjatuh di tengah gunung salju dan tidak ada makanan, tidak ada hewan dan tumbuhan yang dapat dimakan. Dinginnya cuaca menyebabkan beberapa orang meninggal, dan bagi yang hidup mereka punya pilihan, terus bertahan dan berharap tim penyelamat datang atau memakan daging bangkai manusia yang telah meninggal. Memakan bangkai manusia jelas haram, namun apa bila memakan bangkai atau jika tidak akan binasa maka islam memberikan kelonggaran[10].

Dalam pilihan barang halal dan haram, optimal solutionnya selalu corner solution, yaitu dengan mengkonsumsi barang halal seluruhnya, maka keadaan darurat yaitu keadaan terpaksa mengkonsumsi barang haram, bukanlah corner solution oleh karena itu bukan optimal solution. Keadaan darurat selalu tidak optimal.



[1] . Adiwarman A Karim, (2003), Ekonomi Mikro Islam, Karim Business Consulting : Jakarta, 125

[2]. ibid

[3] . Edwin, Mustafa (2007), Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam, Kencana : Jakarta

[4] . Adiwarman A Karim, (2003), Ekonomi Mikro Islam, Karim Business Consulting : Jakarta, 134

[5] . Sadono Sukirno, Ekonomi Mikro, rajawali press, jakarta, 78

[6] . Adiwarman A Karim, (2003), Ekonomi Mikro Islam, Karim Business Consulting : Jakarta, 79

[7] . ibid 80

[8] . Ibid 83

[9] . “ yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, di antara keduanya terdapat yang syubhat, namun tidak banyak orang mengetahuinya. Barang siapa yang menghindari syubhat berarti menjaga kesucian agama dan dirinya, dan barang siapa terjerumus kepada barang syubhat akhirnya akan terjerumus kepada yang haram” (H.R. Bukharai dan Muslim

[10] . kaidah ushul fiqh, ad dharuratu tubihul mahzhurat ( keadaan darurat membolehkan yang dilarang).