Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Oleh: Adib Susilo/ mu’amalat VII
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mungkin tidak banyak dikenal dikalangan masyarakat awam indonesia, namun tidak bagi kalangan akademisi yang pernah membaca karya-karyanya, khususnya yang telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia. Seperti, Islam dan Sekularisme, terbitan Pustaka Bandung. Islam dan Filsafat Sains, terbitan Mizan; atau Konsep Pendidikan Islam, pasti mengenal Syed Naquib Al-Attas. Sosok Naquib Al-Attas sebagai pemikir muslim adalah pemikir muslim terkemuka abad ini, yang pemikirannya tidak dpat ditangkap hanya dari sekedar membaca bukunya namun yang terpenting adalah gagasan islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yang dipelopori oleh isma’il al-faruqi. Gagasan ini merupakan titik kulminasi beberapa pemikiran konseptualnya yang tertuang dalam karyanya, prolegomena to the metaphysics of islam. Lebih menarik lagi, kepeduliannya terhadap kemunduraan umat, diimplementasikan kedalam lembaga pendidikan bertaraf internasional.
Untuk mengungkap pentingnya pendidikan, al-attas dalam pendidikan islam memulai melalui pandangan metafisika yang dilanjutkan dengan ilmu pengetahuan dan mengetahui. Menurut Al-Attas metafisika dalam islam adalah tasawuf filosofis, yang merupakan suatu system yang terpadu yang secara positif menerangkan hakikat realitas yang sebenarnya melalui penggabungan akal dan pengalaman dengan tingkatan yang lebih tinggi, yang terdapat dalam dimensi suprarasional dan transempirikal kesadaran manusia. Al-Attas juga menegaskan bahwa tidak ada formulasi filsafat islam mengenai pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengabaikan kontribusi ulama-ulama sufi dalam pengembangannya yang berkaitan dengan hakikat realitas sejati. Pandangan dasar teologi dan metafisika tasawuf berakar pada prinsip pokok sufi mengenai eksistensi (wujud). Dan hal yang bertolak belakang dengan quiditas (mahiyah). Sedangkan ilmu bagi al-attas adalah sesuatu yang sangat prinsipil khususnya dalam dunia pendidikan. Al-Attas merupakan cendikiawan muslim kontemporer yang pertama kali menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, artinya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral karena perbedaan budaya menyebabkan perbedaab pemahaman terhadap ilmu itu sendiri, seperti perbedaan budaya islam dan barat, sehingga tidak bisa dipertemukan karena perbedaan itu begitu mendalam.
Al-Attas selanjutnya mengatakan bahwa akar permasalahan intelektual umat islam adalah kekeliruan dalam memaknai sejumlah kata kunci menurut pandangan dunia dan sejarah islam seperti perkataan pandangan dunia, agama, Allah Swt., ilmu pengetahuan, pendidikan, kebahagiaan, keadilan, kebijaksanaan, perguruan tinggi, dan sebagainya. Oleh karena itu Al-Attas untuk memahami kata-kata kunci tersebut dengan membagi definisi menjadi dua kategori seperti ibn hazm dan Al-Ghazali, yaitu hadd atau definisi dengan spesifikasi objek yang mebedakannya dengan yang lain dan yang kedua rasm atau definisi yang bersifat menerangkan ciri-ciri utama bukan esensi suatu objek. Konsep penting lainnya yang terdapat dalam definis, ilmu pengetahuan dan filsafat pendidikan al-attas adalah kedatangan yaitu suatu proses yang suatu pihak memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual dan keridhaan Allah Swt. Al-Attas sependapat dengan Fazlur Rahman dalam pencarian ilmu pengetahuan namun ia berbeda dari Fazlur Rahman yang menganggap kreativitas sebagai ciri esensial dalam ilmu pengetahuan modern.
Al-Attas juga menegaskan tentang tujuan pendidikan menurut islam yaitu untuk menghasilkan manusia yang baik bukan warga Negara dan pekerja yang baik. Al-Attas selanjutnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memunculkan manusia yang peripurna atau insan kamil. Karena menurut Al-Attas warga Negara dan pekerja yang baik dalam sebuah Negara yang sekuler tidaklah sama dengan manusia yang baik; sebaliknya manusia yang baik sudah pasti seorang pekerja dan warga Negara yang baik. Untuk mencapai itu pendidikan menurut Al-Attas adalah penyemaian dan penanaman ada dalam diri seseorang yang selanjutnya disebut ta’dib. Karena manusia yang baik maksudnya adalah manusia yang memiliki adab. Al-Attas mengajukan agar istilah pendidikan dalam islam tidak lagi tarbiyah atau ta’lim melainkan ta’dib. Ia menolak istilah tarbiyah karena hanya menyinggung aspek fisikal dan istilah ta’lim karena hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif.
Al-Attas tidak hanya menekankan pentingnya pendidikan kontemporer, tetapi juga pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri dan konservatif secara keagamaan tanpa mengabaikan watak preskriptif, praktis, dan futuristik. Al-Attas menganggap universitas sebagai sebuah institusi yang paling kritis, yang darinya akan bermula kebangkitan dan reformulasi pendidikan dan epistemology. Penekanan terhadap pendidikan tinggi bukanlah cermin dari kaum elitis yang feudal akan tetapi merupakan unterpretasi terhadap hikmah ilahiah, yang menjadikan orang dewasa sebagai target utama misi semua nabi. Karena ini merupakan karakteristik pokok masyarakat islam yang sudah dikembangkan oleh para pemikir muslim sejak dahulu hingga adanya pengaruh moderenitas. Penekanan terhadap pendidikan ini tidak ternilai baik secara strategis maupun kutural. Sebab kualitas suatu Negara dilihat dari institusi pendidikan tingginya.
Al-Attas lebih lanjut menjabarkan ide tentang unversitas islam sebagai makrokosmos atau alam kecil dari jagat raya. Dimana ia harus memerintah untuk dirinya sendiri sebagai mana pemerintah mengatur negaranya. Sebuah universitas harusnya merupakan gambaran dari manusia universal atau insan kamil. Pandangan Al-Attas ini bukan hanya berdasarkan asas-asas ontologis, melainkan juga pada analisis istilah-istilah penting yang digunakan dalam proses sejarah universitas. Istilah university diadopsi dari bahasa arab kullliyah, maksudnya ilmu pengetahuan dan bagian spiritual dari akal adalah sesuatu yang universal (kulliyat). Dan pembagian anatomi kemanusian faculty oleh pelbagai universitas adalah terjemahan dari istilah quwwah yang merujuk pada kekuatan yang inheren dari dalam organ tubuh.
Lebih lanjut ide uneversitas islam juga didukung dengan kurikulum ilmu pengetahuan secara hierarki. Ia membagi hierarki ilmu pengetahuan menjadi dua fardu a’in dan fardu kifayah. Fardu a’in berisikan ilmu-ilmu agama dan fardu kifayah berisikan ilmu-ilmu umum. Seperti yang dilakukan oleh pondok-pondok pesantren modern secara filosofis seluruh pondok pesantren bersifat tafaqquh fid din yang artinya mengkhususkan pemahaman terhadap ilmu agama. Dalam pesantren modern ilmu-ilmu agama ini yang terkandung dalam kitab klasik disederhanakan dalam bentuk kurikulum sehingga bersifat madras dan menambahkannya dengan ilmu umum sehingga santri yang belajar didalamnya dapat menguasai ilmu umum dan ilmu agama secara intergral dan tidak terpisah.