Asbabu an-Nuzul ayat-ayat
Al-Qur’an
adib susilo
Dalam
al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi kisah-kisah tentang nabi-nabi sebelum
rasulullah, dan ada pula ayat-ayat yang berisi kejadian pada masa rasul, serta
ketentuan hukum dari suatu hal. Pada makalah ini akan dibahas apa itu asbab
an-Nuzul ayat al-Qur’an? Bagaimana redaksinya? Macam-macam riwayat tentang asbab
an-Nuzul serta beberapa kaidah yang berhubungan dengan asbab an-Nuzul.
Pengertian
Untuk
membahas lebih lanjut tentang asbab an-Nuzul al-Qur’an maka harus kita
ketahui bersama pengertian asbab an-Nuzul. Secara bahasa asbab
an-Nuzul terdiri dari dua kalimat yaitu asbab (أسباب) dan nuzul (نزول). Untuk itu perlu diketahui makna
masing-masing dari kalimat tersebut secara bahasa kemudian makna asbab
an-Nuzul secara istilah.
Asbab
(أسباب)
adalah jamak dari sabab (سبب), yang artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan yang
lainnya. Sedangkan nuzul (نزول) artinya turun dari atas atau turun dari tempat yang tinggi.[1]
Sedangkan menurut istilah asbab an-Nuzul (أسباب
النزول) semua perkataan
ataupun perbuatan yang karenanya al-Qur’an turun ketika kejadian itu terjadi.[2]
Sedangkan menurut Jalaluddin al-Suyuti yang dituliskan ataupun diintisarikan
dalam asbab an-Nuzul adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika terjadi
suatu kejadian.[3]
Menurut
zarqani asbab an-Nuzul ayat-ayat yang turun kejadian dari suatu perkara
ataupun penjelasan hukum ketika terjadi suatu perkara.[4]
Menurut Hasan Abbas, ayat-ayat yang turun pada waktu terjadi sesuatu untuk
menjelaskan kejadian tersebut ataupun penjelasan hukum atas peristiwa tersebut.[5]
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, apa-apa yang diturunkan dari ayat-ayat al-Qur’an
ketika terjadi suatu peristiwa atau ketika nabi ditanya tentang suatu hal.[6]
Redaksi
dalam sabab an-Nuzul
Sebab
turunnya suatu ayat memiliki redaksi yang khas, redaksi itu dapat dibagi
menjadi dua yaitu redaksi yang jelas dan redaksi yang tidak jelas. Redaksi yang
jelas seperti redaksi dalam teks al-Qur’an karena sebab terjadinya suatu
peristiwa dan bukan yang lainnya. Seperti “sebab turunnya ayat ini seperti
ini”. Dan dapat pula penyebutan redaksi tersebut tidak langsung seperti itu,
akan tetapi dengan huruf fa dakhiliyah yang maksudnya adalah maka
seperti “ Rasul ditanya tentang suatu hal maka diwahyukanlah kepadanya ayat
atau maka diturunkanlah kepadanya ayat ini”.[7]
Dari
penjelasan redaksi yang jelas dalam sabab an-Nuzul dapat kita bagi dua
macam redaksi yang jelas dalam sabab an-Nuzul yaitu “sebab turunnya ayat
ini” dan “terjadi suatu peristiwa maka turunlah ayat seperti ini atau maka
diturunkanlah ayat ini”.[8]
Menurut
mazini redaksi yang pertama yaitu “sebab turunnya ayat ini seperti ini”. Belum
pernah digunakan dan belum ada riwayat penggunaan redaksi ini. Sedangkan
redaksi yang kedua yaitu “terjadi suatu peristiwa maka turunlah ayat seperti
ini atau maka diturunkanlah ayat ini”, merupakan redaksi yang paling sering
digunakan.[9]
Redaksi
yang kedua adalah redaksi yang tidak jelas yaitu redaksi yang tidak langsung
menggunakan lafadz sebab dan tidak pula mengguanakan kalimat “maka”, tidak pula
jawaban dari pertanyaan kepada rasul. Akan tetapi bentuk redaksi tersebut “ayat
ini turun pada kejadian ini” redaksi sebab turun ayat seperti ini merupakan
sebab itu sendiri saja dan merupakan penafsiran makna akan ayat tersebut.[10]
Dan
cara untuk mengetahuinya hanya dengan indikator-indikator, karena terkadang
dapat menjadi tafsir jika disebutkan didalamnya makna yang tertuju pada ayat
tersebut, namun terkadang menjadi sebab turunnya ayat itu. Jika dalam redaksi
tersebut disebutkan seseorang atau kejadian tertentu[11]
atau penejelasan hukum dari satu ayat tertentu.[12]
Dan
hanya indikator-indikator yang dapat menjelaskan mana diantara keduanya yang
tafsir atau yang sebab turunnya ayat.[13]
contoh
redaksi yang jelas seperti pada sebab diturunkannya ayat tentang tayammum;
diriwayatkan oleh bukhari bahwasanya ketika rasul bangun pada subuh hari, dan
beliau tidak menemukan air untuk berwudhu maka turunlah ayat tentang tayammum.
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
Riwayat
dalam asbab an-Nuzul
Riwayat
dalam asbab an-Nuzul merupakan inti pembahasan dalam sebab-sebab
turunnya suatu ayat. Dan merupakan perkara yang paling besar serta bahaya akan
salah pemahaman ayat paling banyak. Dan jika benar faidahnya paling mulia. Oleh
karena itu riwayat merupakan pembahasan inti dari asbab an-Nuzul.[14]
Riwayat
dalam asbab an-Nuzul ada tiga yaitu:
1.
Jika
ada dua sebab turunnya suatu ayat, dan salah satu riwayatnya lebih benar dari
yang lainnya, maka yang paling benar diambil untuk dijadikan sebab turunnya
ayat tersebut.[15]
2.
Jika
ada dua sebab turunnya ayat dan keduanya sama benar dalam riwayat akan tetapi
salah satunya lebih jelas dalam penyebutan sebab turunnya suatu ayat maka yang
lebih jelas sebab turunnya ayat diambil.[16]
3.
Jika
ada ayat yang sebab turunnya sama dan keduanya sama benar dalam periwayatan dan
sebab turunnya jelas serta belum ada yang unggul antara keduanya, maka
penelitian ini menjadi multiplasi dan pengulangan sebab turunnya ayat.[17]
Lafadz
yang umum dan sebab yang khusus dalam asbab an-Nuzul
Pembahasan
yang umum dan sebab yang khusus berdasarakan dan berasaskan dari pembahasan ushuly
yang efektif dan penting dalam metode pengambilan hukum syar’iah. Dan
melihat hubungannya yang dengan teks-teks syar’iah secara umum, maka menjadi
sebuah keharusan pemabahasan ini terikat dengan sebab turunnya al-Qur’an dengan
sisi khususnya. Dan menjadi pembahasan utama dalam tema ini.[18]
lafadz
‘aam (عام)
adalah istilah yang dimasukan kedalam satu situasi untuk banyak hal yang tidak
terbatas dan terikat kepada apa yang baik untuk hal itu.[19]
Seperti kalimat muhsinin (محسنين)
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
sebab-sebab
yang khusus maksudnya adalah sebab yang tertuju kepada khitab atau sebab datangnya
ayat tersebut.[20]
ada
beberapa perbedaan pendapat ahli ushul tentang lafadz yang umum dan sebab yang
khusus, yaitu apakah pelajaran dapat diambil dari lafadz yang umum atau dari
sebab yang khusus? menurut Jalaludin al-Suyuti pelajaran dari suatu ayat dapat
diambil dari lafadz yang umum.[21]
menurut Ibn Hajar al-Asqalani sebagaimana pendapat jumhur ulama bahwa pelajaran
dari suatu ayat diambil dari lafadz yang umum dan bukan dari sebab khususnya.[22]
alasan
mereka:
1.
Para
sahabat dan yang lainnya berpendapat tentang kejadian-kejadian dengan ayat-ayat
yang umum yang turun dengan sebab tertentu secara bersamaan antara keduanya.[23]
2.
al-Qur’an
itu sendiri merupakan bukti, dan argument, bukan pertanyaan atau mengapa, oleh
karena itu Allah telah memodifikasi dengan jawaban untuk pertanyaan yang ada,
agar menjadi hikmah yang diketahui oleh Allah, dan peringatan bagi si penanya,
bahwa dia harus memperhatikan dari apa-apa yang telah dijawab atas
pertanyaannya, bukan dengan pertanyaan yang ia berikan dan lafadz syaari’ atau
al-Qur’an itu sendiri merupakan bukti.[24]
3.
Bahwa
dalam bahasa aslinya adalah untuk mendapatkan makna asli dari kata-kata secara
langsung, yang belum ada asumsi akan bukti dari kehendak asli makna tersebut.
Realitas istilah secara umum dan langsung diarahkan ke setiap yang percaya
kepadanya. Maka kekhususannya terhadap seseorang membutuhkan praduga atas bukti
yang mencakup setiap orang yang dituju. Dan tidak ada asumsi yang dapat
dianggap sesuai. Karena alasan atau sebab yang khusus tidak menghalangi cakupan
kata.[25]
Dari
penjelas diatas dapat kita ambil kaidah dalam kata yang umum dan sebab yang
khusus:
1.
Pelajaran
dari ayat dapat diambil dari lafadz yang umum dan bukan dari sebab yang khusus
2.
Pelajaran
dari ayat dapat diambil dari sebab yang khusus dan bukan dari lafadz yang umum
Yang
pertama pelajaran dengan lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Tidaklah
jatuh lafadz yang umum karena sebab yang turun atasnya, dan ini merupakan
pendapat sebagian besar ulama.[26]
Bukti akan hal itu menurut para ulama tersebut adalah:
1.
Bahwa
lafadz yang datang atas sebab yang khusus, jika dikupas dengan sebab akan
menjadi umum, karena indikasi keumuman bebentuk verbal bukan ketiadaan sebab.[27]
2.
Bahwa
argument dalam lafadz syaari’ bukan pada sebabnya, bahkan kalimat
perintah sekalipun harus menjaga lafadz secara umum, khususnya jika munculnya
dimulai bukan karena sebab terjadi sesuatu.[28]
3.
Jika
munculnya lafadz secara umum atas sebab yang khusus jatuhlah sifat umumnya,
adanya sebab merupakan penghalang atas sifat umum tersebut.[29]
4.
Lafadz
umum yang muncul karena sebab yang khusus, karena sebabnya yang khusus itu yang
muncul pada tempat dan waktu tertentu tidak terbatasi dari keduanya.[30]
5.
Bahwa
pengkhususan lafadz yang umum yang muncul karena sebab yang khusus
menghilangkan tambahan atas kalimat yang dibicarakan.[31]
kaidah
yang kedua menyebabkan jatuhnya keumuman lafadz atas sebab munculnya ayat.[32]
Dan bukti dari kaidah ini:
1.
Maksud
dari lafadz ini adalah penjelasan tentag hukum sebabnya saja.[33]
2.
Jika
lafadznya umum yang muncul karena sebab khusus tertuju dari lafadz tersebut
majaz umum yang dikhususkan sebabnya dan keluarnya dari umum dengan ijtihad.[34]
3.
Jika
bukan pengkhususan hukum karena sebabnya, maka periwayat akan mengutip
sebabnya.[35]
4.
Bahwa
kalimat umum yang muncul karena sebab yang khusus, merupakan jawaban atasnya,
dan jawaban asli dari soal harus sesuai dengan pertanyaannya.[36]
[1] Sulaiman
al_Maziniy, al-Muharar fi asbab an-Nuzul al-Qur’an, Daar Ibn Jawzi,
Kairo cetakan II, Hal.103
[2] Ibid, Hal.105
[3] Jalaludin
al-Suyuti, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, Daar at-Turats, Kairo 1967,
Hal.82
[4] Sulaiman
al_Maziniy, al-Muharar fi asbab an-Nuzul al-Qur’an, Daar Ibn Jawzi,
Kairo cetakan II, Hal.104
[5] Hasan Abbas,
Itqan al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Daar al-Nafaes, Ardan cetakan II
2010, Hal.310
[6] Ibn Hajar
al-Asqalani, al-‘Ujab fi Bayan al-Asbab, Daar Ibn Hazm, Beirut cetakan I
2002, Hal.15
[7] Sulaiman
al_Maziniy, al-Muharar fi asbab an-Nuzul al-Qur’an, Daar Ibn Jawzi,
Kairo cetakan II, Hal.114
[8] Ibid, Hal.115
[9] Ibid
[11]
Ibn Hajar
al-Asqalani, al-‘Ujab fi Bayan al-Asbab, Daar Ibn Hazm, Beirut cetakan I
2002, Hal.23
[12] Sulaiman
al_Maziniy, al-Muharar fi asbab an-Nuzul al-Qur’an, Daar Ibn Jawzi,
Kairo cetakan II, Hal.117
[13] Ibid
[14] Hasan Abbas,
Itqan al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Daar al-Nafaes, Ardan cetakan II
2010, Hal.339
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Sulaiman
al_Maziniy, al-Muharar fi asbab an-Nuzul al-Qur’an, Daar Ibn Jawzi,
Kairo cetakan II, Hal.117
[19]
Ibid
[20] Ibid, Hal.129
[21] Ibn Hajar
al-Asqalani, al-‘Ujab fi Bayan al-Asbab, Daar Ibn Hazm, Beirut cetakan I
2002, Hal.30
[22] Jalaludin
al-Suyuti, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, Daar at-Turats, Kairo 1967,
Hal.85
[23] Ibn Hajar
al-Asqalani, al-‘Ujab fi Bayan al-Asbab, Daar Ibn Hazm, Beirut cetakan I
2002, Hal.30
[24] Ibid
[25] Ibid, Hal.31
[26] Sulaiman
al_Maziniy, al-Muharar fi asbab an-Nuzul al-Qur’an, Daar Ibn Jawzi,
Kairo cetakan II, Hal.133
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Ibid, Hal.134
Ibid
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] Ibid, Hal.35
[36] Ibid
0 comments:
Post a Comment