KEADILAN DISTRIBUSI MENURUT SYED NAWAB HAIDER NAQVI
oleh: Adib Susilo / Mu’amalat 6
Pendahuluan
Dewasa ini kesenjangan sosial anatra masyarakat kaya dan masyarakat miskin semakin melebar, jurang pemisah antara keduanya sangatlah luas. Di tambah lagi kemiskinan pada saat ini menunnjukan peningkatan. Kedua hal ini merupakan masalah besar bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagai akibat dari kesenjangan sosial tersebut muncul lah berbagai masalah lainnya. Seperti, meningkatnya kriminalitas, meningkatnya prostitusi, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan dengan alasan tuntutan ekonomi yang semakin meningkat sedangkat pendapatan yang di miliki kurang atau bahakan tidak mencukupi kehidupan sehari-hari. Jika hal ini di biarkan berlarut-larut maka akan berdampak kepada kehidupan politik dan sosial suatu negara secara negatif.
Mengapa hal ini bisa terjadi salah satu penyebabnya adalah kurang adilnya atau bahkan tidak adilnya suatu sistem pemerintahan dalam mendistribusikan pendapatan. Mengapa demikian? Ini dikarenakan kekayaan dalam negara ini ( Indonesia ) hanya berputar kepada orang-orang kaya saja. Sebagai contoh “penilepan” atau korupsi pegawai pajak terhadap pajak yang seharusnya dapat didistribusikan untuk pembangunan sturktur dan infrastruktur pemerintah atau bahkan untuk mensubsidi pendidikan dan kegiatan perekonomian masyarakat. Dan bahkan korupsi itu tidak hanya di dirjen pajak saja. Korupsi itu terjadi juga di mana-mana seperti di kementrian keagamaan yang di lakukan Said Agil Husaini dan lain sebagainya. Ini menunjukan korupsi seolah mendarah daging di Indonesia sebagai akibat dari tidak adilnya pendistribusian pendapatan yang ada di negara ini.
Prisnsip pokok dalam distribusi adalah keadilan yang bertujuan untuk mencapai pertama, sirkulasi kekayaan atau perputaran kekayaan, agar tidak hanya berputar di sekeliling orang-orang kaya saja namun dapat di distribusikan di semua lapisan masyarakat. Kedua, agar tiap kalangan masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan dan kesejahteraan nasional mendapatkan imbalan yang adil dan sesuai[1].
Islam tidak menginginkan kesenjangan sosial yang mencolok antara kaum elit dan kaum miskin hingga melebihi tingkat tertentu, dan menjaganya dalam batas-batas kewajaran. Untuk hal itu islam melarang penimbunan kekayaan[2]. Begitu pula dengan korupsi karena dengan demikian harta hanya berputar pada kalangan elit.
Dalam makalah singkat ini pemakalah akan menganalisa bagaimana keadilan dalam distribusi tersebut seharusnya terjadi menurut syed nawab haider naqvi. Untuk itu yang akan di bahas adalah apa itu keadilan dan distribusi? Siapa syed nawab haider naqvi tersebut? Dan bagaimana keadilan distribusi yang seharusnya terjadi dalam pandangan beliau?
Keadilan
Keadilan adalah memperlakukan seseorang sesuai dengan haknya masing-masing. Tanpa membedakan status sosial, status agama, status suku, dan keturunan. Di negara indonesia keadilan dalam pancasila sila k-2 dan ke-5 serta pada pembukaan UUD 1945 dan tertera pada GBHN 1999-2004 tentang visi[3]. Adil dapat pula di definisikan sebagai keseimbangan atau tidak berat sebelah[4]. Dari definisi di atas dapat kita ketahui bersama bahwa keadilan merupakan pemberian hak yang sesuai tanpa melihat status sosial seseorang yang artinya tidak memihak atau tidak berat sebelah sehingga terciptalah keseimbangan.
Dalam islam sendiri keadilan merupakan hal yang sangat penting karena Allah sendiri telah memerintahkan kepada umat muslim agar bersikap adil seperti yang tertera di dalam surat al hujurat ayat 9 yang isinya menjelaskan bahwa ketika dalam perjanjian peranga ada yang melanggar, maka pihak yang melanggar dapat di perangi. Dan kata-kata adil sendiri di dalam al-qur’an biasa di ungkapkan dengan kata al’adl yang berarti persamaan, lalu al-qisth yang berarti bagian yang sesuai seperti yang dalam surat an-nisa’ “jadilah kamu penegak keadilan (al-qisth), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri.. (an-nisa ayat 135), selanjutnya al-mizaan yang artinya timbangan yang dimaksud disni adalah keseimbangan. Seperti yang tertera pada surat al-rahman ayat 7.[5]
Distribusi
Distribusi atau pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa sewa, upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses penentuan harga yang dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah dari sudut si pembayar biaya-biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran (marketing). Kadang-kadang ia dinamakan sebagai functional distribution.[6]
Syed Nawab Haider Naqvi
Dr. Nawab Haider Naqvi( D. G. FUUAST)[7]
Educational Qualifications :
- M.A., 1961 Yale University
- Ph.D., 1966 Princeton University
- Post-doctoral Fellow, 1969-70 Harvard University
Main Awards :
- Citation in Who's Who in the World, 5th Edition (1980-81).
· Sitara-i-Imtiaz (1991). A Distinguished Civilian Award for Academic Excellence (in Economics).
· ECO Award for outstanding performance in the field of Economics (1992).
Teaching Experience :
- Distinguished National Professor of Economics and Director General, Federal Urdu University of Arts, Science and Technology (July1, 2004---).
- National Professor of Economics (1993-1996).
- Professor of Economics and Chairman, Department of Economics, Quaid-i-Azam University, Islamabad (Sept. 1975 to Jan. 1979).
- Visiting Professor, Heidelberg University , West Germany (1977).
· Consultant to OECD (Organization for Economic Cooperation and Development, Paris ) and Visiting Professor in the Faculty of Administrative Science, the Middle East Technical University , Ankara (from 1st Sept. 1972 to Aug. 1975).
· Taught at Norwegian School of Economics and Business Administration , Norway , and at Christian Michelson Institute, Norway (1969) (On leave from Pakistan Institute of Development Economics).
Research Experience
- Senior Economic Adviser, National Electric Power Regulatory Authority (NEPRA), (April 1998 to February 2000).
· Economic Adviser, MCB Institute for Development Research (1995-1996).
· Director, Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad ( 2nd January 1979 - 10th July 1995 ). The Director is in Grade-22 and has been placed in Article 16 of the Warrant of Precedence for Pakistan . His status was equivalent to a Federal Secretary.
· Chief, Economic Affairs Division, Government of Pakistan ( 1st October 1971 to 1st September 1972 ).
· Officer-in-Charge and Senior Research Economist, Pakistan Institute of Development Economics (March 1967 to 15th September 1971).
Areas of Specialization
-- Development Economics.
· International Economics.
· Agricultural Economics.
· Comparative Economic Systems
· Econometric Model-building
Regulatory Economics
· Economics of Regulations.
Membership and Association: 26 Associations, Boards, Committees etc., -- both national and international; some important ones are:
- Member, National Geographic Society, Washington , D.C.
· Founder President, Pakistan Society of Development Economists, Islamabad , 1982-1995.
· Chairman, the Committee on Economic and Social well-being for the Eighth Five Year Plan, appointed by the Government of Pakistan 1992.
· Chairman, (1990-1992) and Member (1982-1993) Board of Management, Asian and Pacific Development Center, The United Nations, Kuala Lumpur, Malaysia.
· Chairman (1981-1983) and Member (1983-1987), Asian Sub-Link Project, ESCAP, Bangkok , Thailand .
· Chairman, Committee on Islamization, appointed by the Finance Minister, Government of Pakistan, 1980.
Editorship of Journals: 14 national and international Journals including:
· Editor, The Pakistan Development Review, Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad (1979-1995).
· Member, Board of Editors, Managing International Development (M.I.D.) The United Nations, New York .
· Member, South Asia Journal, The Sage Publishers, New Delhi (1997--).
Publications: Books/Monographs Papers
- Macro-Econometric Modeling: 11 10
- Development Economics 08 19
- Trade Policy 08 22
- Agricultural Economics 07 04
- Evaluation of Pakistan 's Economy 05 10
- Comparative Economic Systems 09 12
- Economics of Regulation - 04
- Miscellaneous - 20
Total : 48 101
Selected Recent Publications:
Selected Books/Monographs
· Perspectives on Morality and Human Well-being, Leicester ( UK ): Islamic Foundation, 2003.
· Development Economics : Nature and Significance. Sage Publications, New Delhi , US , London , 2002 .
- The Crisis of Development Planning in Pakistan : Which Way Now? Islamabad : Institute of Policy Studies. (March 2000).
· External Shocks and Domestic Adjustment : Pakistan 's Case 1970-1990, Oxford University Press, 1997.
· Islam, Economics, and Society . London : Kegan Paul International 1994.
· Development Economics : A New Paradigm. New Delhi : Sage Publications, 1993.
· SAARC Link: An Econometric Approach. (Asian and Pacific Development Center , Kuala Lumpur ,
Malaysia ) New Delhi : Oxford & IBH. 1992.
· Macro-Economic Framework for the Eighth Five Year Plan; Islamabad : Pakistan Institute of Development Economics, 1992.
· On Raising the Level of Economic and Social Well-Being of the People. Islamabad : Pakistan Institute of Development Economics, 1992.
· Structure of Protection and Allocative Efficiency in Manufacturing . San Francisco International Center for Economic Growth, 1991 (with A.R.Kemal).
· Structural Change in Pakistan 's Agriculture. Islamabad Pakistan Institute of Development Economics. October, 1989 (with Mahmood Hasan Khan and Ghaffar Chaudhry).
· Land Reforms in Pakistan : A Historical Perspective. Islamabad : Pakistan Institute of Development Economics. November, 1987 (with Mahmood Hasan Khan and Ghaffar Chaudhry).
· Preliminary Revised P.I.D.E. Macro-Econometric Model of Pakistan 's Economy . Islamabad : Pakistan Institute of Development Economics, 1986 (with Ashfaq H. Khan and Ather Maqsood Khan).
· Ethics and Economics: An Islamic Synthesis . Published by the Islamic foundation, U.K. , 1981.
Selected Papers
- “International trade and economic governance in Asia-2005”, To be published in the UNDP Asian Human Development Report, 2005.
· "Globalization and Human Development", Encyclopaedia of Life Support System, UNESCO, 2002.
· “Peak-Load Pricing in Pakistan ” (2000) National Electric Power Regulatory Authority , Pakistan .
· "The Rise of Development Economics". Asia-Pacific Development Journal, June 1999.
· "Globalization, Regionalism and the OIC Countries", Journal of Economic Cooperation, Vol.19, No. 1-2, (1998).
· “The Logic of Electricity Pricing in Pakistan ” (1998) National Electric Power Regulatory Authority , Pakistan .
· "The Quest for Macro-economic Stability: Pakistan 's Case '96". Journal of Economic Cooperation, Vol.18, No.3, (1997), pp.1-8.
· "Globalization, Liberalization and Employment Strategies in Pakistan ", Indian Journal of Labor Economics, Vol.39, No.3, (1996), pp.645-671 (with Zafar Mahmood).
· "The Significance of Development Economics": World Development, June 1996.
· "The Nature of Economic Development". World Development. Vol. 23, No. 4. 1995.
· "Developing Countries and the Uruguay Round Agreement" Journal of Economic Cooperation among Islamic Countries 15, 1-2(1994) pp. 91-112.
· "An Appraisal of Wheat Market Policy in Pakistan ", World Development. Vol. 17, No. 3, pp 409-419, 1989 (with Peter Cornelisse).
· "Public Policy and Wheat Market in Pakistan ", The Pakistan Development Review. Vol. 25, No. 2, summer 1986 (with Peter Cornelisse).
· "Capital Markets and Urban Unemployment". Journal of International Economics, North Holland Co. Amsterdam , 1983 (with Prof. M. Ali Khan) - "On Optimizing Gains form Pakistan 's Export Bonus Scheme", Journal of Political Economy, inter 1971.
· "Protection and Economic Development", Kyklos, January 1969.
Keadilan distribusi menurut naqvi
Di dalam Al-qur’an telah di jelaskan bagaimana distribusi pendapatan seharusnya berjalan yaitu dengan penyaluran pendapatan tersebut kepada yang berhak agar harta kekayaan tidak berputar hanya pada orang-orang kaya saja. Hal ini tertera dalam surat al hasyr ayat 7
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar hanya di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya. (al-Hasyr : 7)
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kekayaan haruslah di distribusikan, agar tidak berputar di kalangan elit. Dan islam melarang penimbunan harta kekayaan, karena dengan demikian akan mengakibatkan tersendatnya atau bahkan putusnya perputaran roda ekonomi. Namun islam tidak melarang penyimpanan (saving) karena saving harta disimpan untuk sesuatu di masa yang akan datang artinya harta tersebut tatap akan berputar. Contohnya menyimpan uang untuk biaya pernikahan, untuk biaya sekolah, dan lain sebagainya[8].
Ada tiga permasalahan yang berhubungan dengan distribusi pendapatan[9] yaitu:
1. Mengatur bagaimana distribusi pendaptan dapat terwujud
2. Haruskah distribusi pendaptan membentuk masyarakat yang mempunyai pendapatan yang sama
3. Siapa yang menjamin distribusi pendapatan dapat terwujud dalam masyarakat
Untuk menjawab pemasalahan di atas, islam telah memberikan solusi yaitu zakat, infaq, shadaqah. Yang mana ketiga hal ini, zakat, ifanq dan shadaqah yang di kumpulkan dari orang-orang kaya selanjutnya di distribusikan kepada orang-orang yang berhak[10].
Syed Nawab Haider Naqvi mengatakan bahwa kesenjangan pendaptan haruslah dikurangi agar tercapainya keadilan distributif[11]. Hal ini di sebabkan perputaran pendaptan hanya pada kalangan elit saja. Dan bahkan meskipun kaum utilitarianisme yang berlandaskan pada teori ekonomi klasik menawarkan kebahagiaan denga teori utuliti-nya tatap saja tidak dapat menyelesaikan maslah kesenjangan pendapatan ini. Persamaan yang di tawarkan oleh paham utilitarian ini dengan menyamakan utilitas marjinal setiap orang. Dengan alasan ini kaum utilitarian menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, namun sebaliknya penghitungan tersebut malah memberikan kebahagian semu bagi orang miskin.
Utilitarianisme yang juga disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Dan moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia ini[12]. Oleh karena itu, teori yang yang di usulkan David Hume, yang kemudian dirumuskan oleh Bentham dan dikebangkan oleh James Mill dan John Stuart Mill memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility).
Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’. Nah pandangna inilah yang akhirnya memunculkan paham hedonisme karen paham ini menuntut kebahagian tertinggi dengan nilai kebahagian intrinsik yaitu nilai yang dalam hal ini hanya untuk kepentingan pribadi dan tidak ada hubungannya denga orang lain.
Menurut naqvi yang seharusnya kita lakukan adalah dengan menyingkirkan paham utilitarianisme ini dan mencari analitis struktur yang mengatur perubahan struktural dalam pendistribusian pendapatan[13]. Dan islam telah memasukan unsur keadilan dalam ajaran agamanya, termasu pula di dalamnya keadilan distribusi. Data kata adil sendiri telah disebutkan dalam Al-Qur’an lebih dari seribu kali.
Keadilan distribusi harus menjadi prioritas utama dalam pendistribusian pendapatan. Dan ini menunjukan, bahwasanya islam memiliki prinsip yang berhubungan antara etika dan ekonomi. Naqvi juga menjelaskan bahwa pendistribusian pendapatan yang adil haruslah di tafsirkan dalam konteks yang dinamis. Hal ini dilakukan agar pemerataan distribusi pada hari ini tidak lebih rendah dari hari kemarin. Sebagai aturan pemerataan distribusi yang tidak merata mungkin dapat di terima jika, pemerataan distribusi dapat menurunkan tingkat kesejahteraan di masa yang akan datang[14].
Kesimpulan
Naqvi menyatakan bahwa distribusi pendapatan dan kekayaan haruslah merata untuk megurangi kesenjangan antara kaum elit dan kaum miskin. Meskipun pemerataan ini telah dicoba oleh paham utilitarianisme namun mereka hanya meberikan kebahagian semu bagi masyarakat miskin. Sesuai dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an surat al Hasyr ayat 7 yang berbunyi
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar hanya di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya. (al-Hasyr : 7)
Maka harta yang dimiliki oleh seseorang haruslah di distribusikan denga cara membelanjakan harta tersebut atau memanfaatkannya denga investasi juga dengan meberikan pembiayaan untuk suatu usaha. Agar kesenjangan yang ada dapat dikurangi. Dan derajat seorang mustahik dapat berubah menjadi muzakky.
Referensi
Ø Rahman Afzalur, ensiklopedia ilmu dalam al-qur’an, mizan 2007
Ø http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/05/pengertian-keadilan.html
Ø http://nuhamaarif.blogspot.com/2008/09/keadilan-dalam-islam.html
Ø Winardi, Kamus Ekonomi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1989
Ø http://www.fuuastisb.edu.pk/data/profiles/dr_Nawab.htm
Ø An Nabhani Taqiyuddin, sistem ekonomi islam, hizbuttahrir Indonesia
Ø Sudarsono Heri, konsep ekonomi islam, UII
Ø Naqvi Syed Nawab Haider, islam, economic, and society, kegan paul London
Ø http://musakazhim.wordpress.com/2007/05/07/utilitarianisme-penjelasan-singkat/
[1] . Afzalur Rahman, ensiklopedia ilmu dalam al-qur’an, mizan 2007 hal. 230
[2] . ibid
[3] . http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/05/pengertian-keadilan.html
[4] . ibid
[5] . http://nuhamaarif.blogspot.com/2008/09/keadilan-dalam-islam.html
[6] . Winardi, Kamus Ekonomi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1989), h. 171.
[7] . http://www.fuuastisb.edu.pk/data/profiles/dr_Nawab.htm
[8] . Taqiyuddin an Nabhani, sistem ekonomi islam, hal 271
[9] . Heri Sudarsono, konsep ekonomi islam, UII hal 216-217
[10] . ibid
[11] . Syed Nawab Haider Naqvi, islam, economic, and society, kegan paul London hal 62
[13] . Syed Nawab Haider Naqvi, islam, economic, and society, kegan paul London hal 63
[14] . ibid hal 90
0 comments:
Post a Comment